Kepemimpinan datuk lebar dado dan kawan – kawannya menjadikan keadaan kehidupan kelompok penghuni Buit Sangkar Puyuh semakin membaik dan pertumbuhan keluarga serta rasa kebersamaan telah mulai menyentuh individu – individu terutama dikalangan kepala keluarga.
Pada awal abad XIV sepasang suami istri di Toar(daerah bagian Mudik) melahirkan seorang putra. Sang suami meninggal dunia sewaktu putranya berumur 5 bulan. Bayi ini amat sehat dan berparas gagah, tetapi mudah menangis, sehingga sang ibu tak punya banyak waktu untuk kegiatan lain. Jangankan untuk bekerja, waktu untuk makanpun hampir tak terluang. Sampai bayi itu berumur satu tahun dapat dihitung waktu berhenti ia menangis.
Dalam keadaan begini kesibukan sang ibu yang tanpa suami meningkat, dimana peluang untuk mencari nafkah dan usaha untuk menjadikan putranya dapat tenang dan senyum seperti anak orang lain sukar dicapai, sehingga sang ibu memakan nasi sisa yang berserakan sepanjang kaki dinding rumah atau nasi yang terletak dalam mangkok yang termpatnya tak menentu sambil menggendong putranya yang terus menangis dengan suara parau dan tersedu – sedu.
Situasi seperti ini berlangsung lama dan cukup menjadikan sang ibu pusing dan panik. Akhurnya sang ibu mengambil kesimpulan untuk bunuh diri bersama putranya, karena penderitaan dan tekanan batin yang meliputi segala ruang kehidupannya. Tanpa berpirike panjang, anak dalam pangkuannya itu dibawa pergi menuju arah Batang Kuantan yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di pinggir sungai ia menoleh kekiri kekanan dan kebetulan tidak ada seorang manusiapun yang tampak. Hari pada waktu itu sore bersafak merah tanda maghrib akan tiba dan siang akan berganti malam. Sang ibu menatap dan mencium muka anaknya yang sedang menangis, seraya berkata dengan suara bergetar dan pelan; “hai anakku belahan hati, lebih baik kita mati terjun kedalam sungai daripada hidup penuh dengan penderitaan, senadainya kita mati berdua tamatlah kesengsaraan kita”.
Air sungai kuantan pada waktu itu pada kedalaman kira – kira 6 meter dari dasar, sedangkan jarak permukaan air sungai dengan permukaan tanah daratan setinggi 13 meter. Dengan keputusan hati yang tidak dapat dipertimbangkan lagi terjunlah sang ibu bersama anaknya disenja itu, tak ada yang menyaksikan kecuali dendang suara jangkrik menyambut malam dibawah cahaya safak merah dari arah barat tempat itu. Allah swt memang bersifat pengasih dan penyayang pada umatnya, maka terjadilah keanehan yang luar biasa. Terjun dari ketinggian 13 meter dengan kedalaman air 6 meter itu tidak membawa malapetaka terhadap diri sang ibu dan anaknya. Sebagaimana yang diuntkapkan dalam buku Tambo Pangean, bahwa sang ibu dan anaknya mendapat lindungan dari yang Maha Kuasa sehingga air yang semula kedalamannya 6 meter berubah menjadi kedalaman setinggi pinggang sang ibu saja. Anak dan Ibu tidak terbenam kecuali hanya sampai kain peambin (kain penggendong) anak. Sedangkan bagian atas hanya basah karena percikan air. Nekat untuk mati bersama tadi tidak terjadi. Dalam keadaan demikian si bayi terus saja menangis dan sang ibu memandang wajah anaknya seraya berkata; “layi hidup juga engkau nak. . .”. Maka putranya itu diberi nama LAYI sedangkan tempat terjunnya itu diberi nama LUBUK LAYI.
Baca selanajutnya : Pendatang dari Daerah Lain dan Lahirnya Nama Pangean #Part 2
0 comments:
Post a Comment